Gichin & Shotokan

Minggu, 05 Oktober 2008

Bermula dari Penyakit

Dilahirkan di Yamakawa Prefektur, Shuri, Okinawa tanggal 10 November 1868, Funakoshi masih memiliki garis keturunan keluarga bangsawan (shizoku) dari golongan samurai di Okinawa.

Funakoshi terlahir bukan sebagai anak yang sehat karena seringnya sakit-sakitan. Akibat kondisi fisik yang kurang baik, sang ayah membawanya kepada Tokashiki, tabib terkenal di Okinawa saat itu.

Tabib inilah yang kemudian menyarankan agar Gichin berlatih Tote untuk memperkuat dan menjaga kondisi fisiknya. Usia 11 tahun Gichin diantar ayahnya kepada Yasutsune ‘Anko’ Itosu untuk belajar Tote/Tode atau nama lainnya Okinawa-Te.

Itosu adalah guru besar Tote jenis Shuri-Te (beraliran Shorin) yang dikenal sebagai penggubah Kata dari kedua aliran besar Tote di Okinawa, Shorin dan Shorei.

Beberapa tahun kemudian Itosu membawa Gichin kepada sahabat seperguruannya, Yasutsune ‘Anko’ Azato (ahli Tote jenis Shuri-Te) agar lebih menguasai segala jenis Tote yang ada di Okinawa.

Selain dari mereka Funakoshi juga menerima pelajaran dari Arakaki Seisho (pencipta kata Unsu), Kokan Oyadomari dan Sokon Matsumura yang merupakan tokoh sentral, tidak hanya bagi 4 besar aliran karate di Jepang namun juga aliran karate lain.

Selain mempelajari seni beladiri, Gichin juga senang mempelajari sastra dan filsafat. Untuk lebih memperdalam pencarian jiwa akan sebuah inspirasi yang menuntunnya pada pencapaian puncak kemurnian nilai filosofis Budo (seni beladiri), seringkali ia bermeditasi atau menjelajah sebuah hutan cemara (dalam bahasa Jepang disebut To) yang cukup sejuk karena dihembus angin yang sepoi-sepoi (dalam bahasa Jepang disebut Sho).

Hutan cemara tersebut berada di pinggiran Kota Shuri, Okinawa, tepatnya di kaki bukit yang dikenal dengan sebutan Torao atau Tora No Maki (harimau yang tak pernah tidur).
Pada setiap karya sastra yang ditulisnya, Gichin selalu membubuhkan tanda tangan/inisial bertulis Shoto. Hal ini sebagai representasi pada tempat kegemarannya menyendiri, hutan cemara yang berhawa sejuk.

Pada 1903 Gichin bersama Itosu pertama kali secara resmi memperkenalkan Tote pada Shintaro Ogawa, pejabat pemerintahan Jepang yang bertugas sebagai kepala sekolah kerajaan tingkat menengah pertama di Kota Naha, Okinawa.

Terkesan dengan Tote, Shintaro mengusulkan agar Tote dimasukkan pada kurikulum wajib pendidikan jasmani di sekolah yang dipimpinnya. Mempermudah siswa belajar Tote, Itosu menyusun sistematika pengajaran melalui gerakan Kata dasar.

Adalah Kanku-Dai yang menjadi dasar Itosu untuk menggubah Kata baru bernama Pinan (Heian dalam versi Shotokan) yang terdiri lima Kata. Gichin selanjutnya ditunjuk Itosu sebagai instruktur di sekolah tersebut hingga belasan tahun.


Melangkah ke Jepang

Pada 1917 atas permintaan Departemen Pendidikan Jepang, maka Direktorat Pendidikan Jasmani pun mempromosikan Gichin untuk mendemonstrasikan Tote pada upacara pembukaan Kejuaraan Atletik Nasional di Tokyo, Jepang.

Tokoh-tokoh seni beladiri di Okinawa juga turut mendukung Gichin yang kemudian berangkat ke Jepang bersama beberapa muridnya. Namun sayang demonstrasi itu tidak berlangsung sukses, karena kebanyakan orang Jepang tidak tertarik dengan beladiri tangan kosong. Saat itu sudah ada Naginata (beladiri bersenjata sejenis tombak) dan Kendo yang merupakan penerus dari teknik para samurai bermain pedang (katana).

Walau demikian tawaran demonstrasi berikutnya datang dari calon putra mahkota negeri Jepang yang berkunjung ke Okinawa. Sekitar tahun 1922 awal musim panas Gichin Funakoshi kembali melakukan demonstrasi di Tokyo atas prakarsa Menteri Pendidikan Jepang.

Demonstrasi ini berjalan sukses, Jigoro Kano (pendiri Judo) sangat terkesan dengan demonstrasi itu dan meminta Funakoshi tinggal di Jepang. Sejak saat itu Funakoshi tinggal di Jepang. Hal ini juga dilandasi amanat terakhir Itosu (meninggal tahun 1915) yang berharap Gichin dapat menyebarluaskan Tote.

Selama di Jepang, Gichin tinggal di asrama kecil lingkungan Universitas Suidobata, Tokyo. Kehidupannya sangat berat kala itu, siang bekerja sebagai tukang kebun dan penjaga asrama.
Malamnya memberikan latihan khusus pada mahasiswa di asrama. Membayar biaya makan, Gichin membujuk koki di asrama itu dan sebagai gantinya, ia mengajari sang koki seni beladiri.

Sejak saat itu banyak bermunculan klub Tote baik di sekolah maupun universitas. Begitu antusiasnya orang-orang Jepang berlatih, sampai-sampai sulit ditemukan tempat kosong untuk berlatih. Tiap hari diisi dengan latihan Tote di hampir seluruh pelosok Jepang.

Salah seorang murid Gichin yang menonjol kala itu adalah Hironori Othsuka yang sebelumnya sudah mempelajari salah satu aliran Jujutsu yang diwarisi dari keluarganya dan juga beladiri Kendo.

Seiring perkembangan seni beladiri yang diajarkannya, kehidupan ekonomi Gichin mulai membaik. Masih di tahun 1922, sebagai sarana memperluas promosi Tote, Gichin menulis buku pertamanya, Ryukyu Kempo: Tode.

Hasil dari melatih dan penerbitan buku membuat Gichin mampu menyewa tempat khusus untuk melatih dan membiayai dua putranya hijrah ke Jepang, yaitu Yoshihide Funakoshi (putra pertama) dan Yoshitaka ‘Gigo’ Funakoshi (putra ketiga), selain itu murid utama Gichin di Okinawa, Takeshi Shimoda. Ketiganya diminta membantu mengelola tempat latihan.

Perkenalan Karate dan Judo

Setelah tiga tahun bermukim di Jepang, Tahun 1925 Gichin diundang secara khusus mewakili seni beladiri Okinawa untuk berdemonstrasi pada acara tahunan di Nippon Budokukai (asosiasi seni beladiri Jepang) di gedung pusat Butoku Den di Kyoto. Istimewanya, acara itu dihadiri putra mahkota Jepang saat itu, Hirohito.

Namanya semakin termashyur dan salah seorang pengagumnya adalah Jigoro Kano, pendiri Judo, yang kemudian mengundangnya ke Kodokan, dojo Judo milik Jigoro yang terkenal sebagai pusat latihan seni beladiri terbesar di Jepang zaman itu.

Persahabatan keduanya tak hanya sebagai pribadi tapi juga dalam seni beladiri. Dari Jigoro Kano, Gichin mengadopsi beberapa teknik sapuan kaki, bantingan, metode latihan pertarungan dasar, model pakaian (yang digunakan hingga sekarang), sistem tingkatan serta kurikulum latihan dan pedoman moral berdasarkan Do yang didasari ajaran Zen asli yang diterapkan Jigoro di Kodokan.

Sementara Jigoro Kano, juga mengadopsi beberapa teknik dari Gichin berupa pukulan dan tendangan untuk menambah perbendaharaan atemi waza (teknik serangan ke tubuh lawan) pada Judo.

Di tahun 1925 itu, Gichin menulis bukunya yang kedua, Rentan Goshin Karate Jutsu. Buku ini berisi penjelasan tentang perbedaan teknik Karate dan Jujutsu.


Tinju Cina Menjadi Tangan Kosong

Perkembangan selanjutnya, Gichin lebih memperkenalkan nama Karate pada seni beladiri yang diajarkannya daripada nama Tote. Huruf kanji Karate dalam dialek Okinawa bermakna Tinju Cina, hal ini didasari pada teknik Tote yang memang hasil kombinasi antara Chuanfa (kungfu) dan seni beladiri asli Okinawa.

Setelah melihat kondisi masyarakat Jepang yang saat itu anti segala hal bernuansa Cina (didasari adanya perang Jepang-Cina, hingga invasi Jepang ke negeri tirai bambu tersebut), akhirnya Gichin mengubah huruf kanji dan makna Karate agar bisa diterima secara luas.

Dari Tinju Cina, menjadi tangan kosong. Kara berarti kosong dan Te adalah tangan. Selain itu juga pengubahan dan penulisan nama-nama Kata (rangkaian Kihon/jurus) yang sebelumnya masih menggunakan dialek Okinawa. Hal itu penting dilakukan agar Karate dapat diterima oleh budaya Jepang.

Kemudian sebagai beladiri yang berlandaskan seni, spiritual dan filosofi, Gichin menambahkan pula kata Do di belakang Karate, sehingga lengkapnya menjadi Karate-Do.

Didasari konsep Do, maka Gichin melarang diadakannya pertandingan bersifat kontak fisik pada Karate yang kemudian dikenal dengan istilah Kumite. Diperbolehkan hanya kompetisi Kata, itupun di intern dojo bersangkutan.

Alasan lain pelarangan pertandingan adalah ketidakinginan Gichin akan terjadinya persaingan antarkarateka yang berimbas pada permusuhan dan hilangnya makna Karate-Do.

Dalam sebuah tulisan Gichin mengatakan, ”tujuan puncak dari seni beladiri Karate-Do tidaklah didasari pada kemenangan atau kekalahan semata, namun pada kesempurnaan kepribadian dari mereka yang mempelajarinya.”


Bermunculannya Karate Baru

Pada 1932 Gichin membuka dojo resmi pertama di Meishojuku, Tokyo. Namun keberhasilan yang baru dimulai ini mendapat cobaan. Diawali meninggalnya Takeshi Shimoda pada 1934, orang yang sangat diharapkan menjadi penerus.

Belum selesai rasa kehilangan mendalam, Gichin dikejutkan keputusan Hironori Othsuka yang mengundurkan diri setelah konflik dengan Gigo karena sama-sama mengklaim sebagai pengganti resmi Shimoda.

Pada 1935 Othsuka mendirikan perguruan Karate sendiri yang diberi nama Wado Ryu (aliran jalan keharmonian). Perguruan ini menggabungkan teknik Karate dan Jujutsu warisan keluarga Othsuka.

Perguruan lain yang muncul di Jepang (di Kota Kyoto) pada tahun yang sama adalah Gojukai. Didirikan Gogen Yamaguchi, murid utama Chojun Miyagi, pendiri Goju-Ryu (Go: keras, Ju: lembut, Ryu: lembaga/organisasi) dari Kota Naha, Okinawa.

Sebelumnya, tahun 1930 Kenwa Mabuni mendirikan perguruan Shito-Ryu. Nama perguruan ini menggabungkan dua kata dalam aksara Cina, Ito dan Higa ke dalam lafal Jepang yang dimaksudkan sebagai penghormatan kepada dua gurunya, Yasutsune ‘Anko’ Itosu dan Kanryo Higaonna.

Tahun 1935, Masaru Sawayama, murid Kenwa Mabuni, mendirikan Kempo Karate (kombinasi Karate, Judo, Tinju). Tahun 1957, Masatoshi Nakayama yang pernah belajar langsung dari Gichin Funakoshi dan juga Karate Goju-Ryu mendirikan perguruan Kyokushinkai dengan teknik gabungan Shotokan dan Goju. Perkembangan Karate menjadi berbagai perguruan/aliran terus berlanjut hingga sekarang.


Shotokan dan Tora No Maki


Kembali ke Gichin. Menyikapi hal yang terjadi di perguruannya ia lebih memilih tidak menjadi ‘hakim’ terhadap siapapun. Setelah keluarnya Othsuka, ia berkonsentrasi menuntaskan buku ketiga, Karate-Do Kyohan yang diterbitkan pada 1935.

Pada buku ketiga ini Gichin kian mempopulerkan nama Karate-Do sebagai pengganti nama Tote. Sebenarnya pada 1904 sudah ada penulis buku lain, Chomo Hanagi yang lebih dulu menggunakan frase ini dalam bukunya Karate Soshu Hen dan periode 1900-1930-an Tote juga sering disebut masyarakat Jepang sebagai Karate-Jutsu (Jutsu: teknik/cara/metode).

Karena faktor Gichin adalah seorang guru besar dalam sebuah disiplin seni beladiri, maka orang secara umum menganggap dialah yang berjasa menggubah frase tersebut.

Dalam buku tersebut juga ‘diresmikannya’ identitas perguruan Gichin, yakni Shotokan. Sebelumnya Gichin tidak pernah menyebutkan perguruannya dalam sebuah nama resmi ataupun berafiliasi pada aliran yang sudah lebih dulu ada.

Para murid Gichin yang sebenarnya berinisiatif menamakan Shotokan. Didasari pada kata Shoto yang selalu ditulis Gichin di setiap karya tulisnya. Kata Kan berarti sekolah/gedung, dalam bahasa Jepang.

Lambang Shotokan berupa grafis harimau diambil dari gambar sampul buku tersebut. Grafis harimau ini berasal dari lukisan Cina kuno yang dilukis kembali oleh Hoan Kosugi, sahabat Gichin.

Hoan Kosugi menawarkan diri melukis sampul buku Gichin karena menghargai dedikasi sang maestro pada seni beladiri. Gichin sempat ragu atas tawaran tersebut, namun Hoan menyatakan tak berharap bayaran, sebaliknya ia minta imbalan berupa kesediaan Gichin melatihnya Karate.
Gichin menamakan lambang Shotokan tersebut Tora No Maki (harimau yang tak pernah tidur), mengambil nama bukit di Shuri, sebagai kenangan pada masa pencarian kesempurnaan jiwanya di Okinawa dulu.


Dojo Shotokan & Lahirnya JKA


Pada 1937 Gichin memindahkan dojo ke tempat lebih besar di daerah Mejiro. Dojo ini sebagai pusat seluruh cabang Shotokan yang telah ada dan dikelola murid-murid seniornya.

Gigo berperan besar di dojo pusat ini, bahkan metode yang dipakainya jauh lebih keras dibandingkan metode latihan yang selama ini diterapkan ayahnya. Banyak di antara murid yang mengakui sangat kelelahan bila berlatih di dojo pusat Shotokan dibandingkan di tempat lain.

Selain keras dalam latihan, Gigo juga dikenal jenius dan inovator teknik Shotokan, beberapa teknik inovasinya yaitu Kizami Zuki, Ura Mawashi Geri, Gyaku Mikazuki Geri, Gyaku Mawashi Geri.

Gigo juga menggubah Kata Sochin versi Shotokan, peletak dasar sistem Jiyu Kumite (atas ide tiga murid Gichin yang terinspirasi dari teknik Kendo, beladiri yang juga dipelajari tiga murid tersebut).

Sementara itu dari dojo pusat ini banyak lahir karateka besar, antara lain Isao Obata, Shigeru Egami, Masutatsu Oyama, Masatoshi Nakayama, Hidetaka Nishiyama, Hirokazu Kanazawa, Motokuni Sugiura, Mitsusuke Harada, Tetsuhiko Asai dan lain-lain.

Kemudian di tahun 1939, Gichin menulis buku keempat berjudul Karate-Do Nyumon. Buku ini semakin mempopulerkan Shotokan dan hingga tahun 1940 tercatat sebagai masa keemasan pertama bagi Shotokan.

Pada akhir perang, tahun 1945, ada dua kejadian besar yang sangat menggoyahkan jiwa Gichin. Pertama, hancurnya Dojo Shotokan karena serangan udara pasukan sekutu dan yang kedua adalah meninggalnya Gigo setelah menderita sakit bawaan sejak kecil yang diperparah buruknya kondisi Tokyo selama perang besar berlangsung.

Pasca perang, selama tiga tahun terjadi stagnasi Shotokan. Barulah pada 1949 para murid senior yang mengepalai dojo di universitas-universitas besar kembali bersatu. Mereka berkumpul dalam rangka merintis pembentukan sebuah wadah yang lebih condong pada sentuhan manajemen profesional olahraga modern, meniru platform dunia olahraga yang berkembang di Amerika Serikat.

Gichin bisa menerima konsep ini dengan didasari pemikiran agar Karate bisa tersebar di seluruh penjuru dunia, sesuai cita-cita awalnya. Maka pada 1949 berdirilah JKA (Japan Karate Association) dengan Gichin Funakoshi sebagai Guru Besar, Isao Obata sebagai presiden dan Masatoshi Nakayama sebagai instruktur kepala.

Kehadiran JKA menarik perhatian kesatuan-kesatuan pasukan sekutu yang masih berada di Jepang dalam jangka waktu lama setelah Perang Dunia II berakhir. Para serdadu ini berbondong-bondong memasuki Dojo JKA untuk berlatih Karate yang kala itu latihannya masih sering dipimpin Gichin, meski usianya sudah lebih 80 tahun.

Kembali ke negara masing-masing, tentara sekutu yang berlatih di JKA menyebarkan olahraga baru yang masih asing di telinga dunia barat ini. Maklum, saat itu di Eropa dan Amerika hanya dikenal Judo dan Jujutsu yang tidak memiliki banyak peminat.

Pada 1952 pertama kalinya secara resmi sebuah grup terdiri perwira muda dan instruktur jasmani militer dikirim komando strategis AU Amerika Serikat ke Jepang, untuk mempelajari secara serius, Judo, Aikido dan Karate-Do.

Program latihan selama tiga bulan ini dimanfaatkan dengan baik oleh JKA untuk mempromosikan Karate. Terbukti, beberapa waktu kemudian para instruktur JKA sering mendapat permintaan memperkenalkan sekaligus melatih Karate di berbagai negara Eropa dan Amerika.


Berdirinya Shotokai


Pada dasarnya, pembentukan JKA adalah ingin mengembangkan lebih jauh Karate ke berbagai pelosok dunia. Salah satu bentuk promosi ke mata dunia adalah menggelar pertandingan atau kejuaraan seperti halnya kegiatan olahraga lainnya.

Kembali pada konsep Do yang dipegang teguh oleh Gichin, ia sangat keberatan jika Karate harus dipertandingkan. Gichin yang tak mau terlibat konflik dengan murid-muridnya yang condong pada kompetisi Karate, kemudian memilih keluar dari JKA.

Meskipun tak pernah diakui secara resmi oleh JKA, namun pada kenyataannya pada 1955 Gichin diikuti Shigeru Egami dan Mitsusuke Harada kemudian ‘menyepi’ di sebuah dojo yang kemudian dinamakan Dojo Shotokai.

Shotokai awalnya adalah sebuah organisasi berupa yayasan yang berfungsi sebagai penggalang dana bagi kemajuan Shotokan, termasuk dalam pendanaan dojo dan kegiatan lainnya.
Atas prakarsa Shigeru Egami, Shotokai diresmikan menjadi sebuah perguruan. Di sinilah Gichin menghabiskan hidupnya dengan tetap mempertahankan ‘keaslian’ ajaran dan pandangannya tentang Karate-Do.

Gichin menghembuskan nafas terakir pada 26 April 1957 dalam usia 89 tahun. Sebagai penghargaan atas jasanya, pemerintah Jepang membangun monumen di samping makam sang maestro.

Sejumlah barang peninggalan Gichin yang berhubungan dengan Karate, termasuk Lambang Tora No Maki, diserahkan pihak keluarga kepada Shigeru Egami untuk disimpan di Dojo Shotokai.

Sepeninggal Gichin, pada Oktober 1957 barulah JKA di bawah kepemimpinan Masatoshi Nakayama, menggelar kompetisi yang sebenarnya sudah direncanakan sejak 1956. Kejuaraan Karate seJepang itu berlangsung sukses. Pada kejuaraan Karate pertama itu tercatat nama Hirokazu Kanazawa sebagai juara pertama kumite selama dua tahun berturut-turut dan nomor Kata di tahun kedua kejuaraan.

Masatoshi Nakayama sangat berperan membesarkan JKA hingga dianggap sebagai perguruan Karate paling berpengaruh di dunia. Ia melakukan banyak lawatan ke berbagai negara dalam rangka penyebaran Karate yang dikonsepnya secara sistematis sesuai keilmuannya sebagai profesor jurusan pendidikan jasmani di Universitas Takoshoku. Nakayama banyak menulis buku tentang Karate, namun ia meninggal mendadak pada 1987.

Sementara Shotokai juga tetap eksis hingga sekarang, meski keberadaannya tak sebesar Shotokan. Semasa hidup, Nakayama sendiri pernah mencoba merangkul kembali rekan-rekannya di Shotokai untuk kembali ke JKA, namun hal itu ditampik dengan beberapa alasan mendasar.

Pihak Shotokai sebenarnya mau berkonsiliasi dengan persyaratan JKA mau menerapkan ajaran Gichin, di antaranya meniadakan kompetisi, memasukkan Kata Taikyoku (Shodan, Nidan, Sandan) yang merupakan Kata ciptaan Gichin dalam kurikulum Shotokan JKA. Namun dalam beberapa pertemuan, tidak ada kesepahaman antara dua perguruan tersebut.

Sementara itu, setelah sang ayah dan sang adik tiada, Yoshihide ‘Giei’ Funakoshi, berusaha melanjutkan Karate-Do sesuai prinsip Gichin hingga sempat menjadi Ketua di Shotokai. Meski demikian, ia tetap tidak melupakan Dojo Shotokan. Giei juga turut berperan dalam merekonstruksi Dojo Shotokan, namun meninggal dunia saat dojo baru dibangun.


Beragam Organisasi Shotokan

Meskipun menjadi salah satu aliran Karate terbesar di dunia, namun persoalan yang menjurus pada perpecahan perguruan dan organisasi tak bisa dihindari di tubuh Shotokan maupun JKA.

Semasa Gichin masih hidup, Hironori Othsuka mengundurkan diri, kemudian Gichin bersama Shigeru Egami dan Mitsusuke Harada keluar dari JKA. Selanjutnya di tahun 1975, Hidetaka Nishiyama yang sangat berperan di JKA Jepang dan perintis Shotokan JKA di Amerika Serikat, mendirikan IAKF (International Amateur Karate Federation) yang kemudian berganti nama menjadi ITKF (International Traditional Karate Federation) pada 1985.

Selang dua tahun, 1977 giliran Hirokazu Kanazawa dan Hitoshi Katsuya hengkang. Murid Nakayama dan Gichin ini mendirikan SKIF (Shotokan Karate-Do International Federation) yang sekarang mampu menandingi kebesaran JKA.

Masih di tahun 1977, Teruyuki Okazaki, murid langsung Gichin dan Nakayama, mendirikan ISKF (International Shotokan Karate Federation). Namun Okazaki yang dibantu Yutaka Yaguchi dalam menjalankan organisasi, ia tidak seratus persen meninggalkan JKA, karena dalam hal teknik masih berafiliasi pada organisasi tersebut.

Sepuluh tahun berselang, Kenneth Funakoshi, warga Hawaii yang menjadi instruktur kepala JKA di negeri kepulauan tersebut, mendirikan FSKA (Funakoshi Shotokan Karate Associaton). Kenneth yang nama belakangnya kebetulan sama dengan Gichin, adalah murid dari tiga pelatih top JKA, Kanazawa, Masataka Mori dan Tetsuhiko Asai.

Selain itu adalagi KWF (Karate-No-Michi World Federation) yang didirikan salah seorang juara JKA, Mikio Yahara. Ia mendirikan organisasi ini bersama rekannya sesama instruktur JKA, Akihito Isaka.

Setelah Nakayama tiada, terjadi pula konflik di tubuh JKA yang berlangsung sembilan tahun. Dimulai 1990 ketika Motokuni Sugiura dan Tetsuhiko Asai, sama-sama mengklaim sebagai pengurus JKA yang sah. Konflik ini berakhir pada 1999 setelah Sugiura mendapat pengesahan dari mahkamah agung di Tokyo. Tetsuhiko Asai akhirnya memilih keluar dari JKA dan mendirikan JKS (Japan Karate Shotorenmei).Asai.

Kemudian di tahun 1989 dua instruktur terkenal JKA lainnya, Hiroshi Shirai dan Taiji Kase
mendirikan WKSA (World Shotokan Karate-Do Academy). Shirai dan Kase yang sahabat karib sejak muda, lebih memfokuskan Karate sesuai teknik yang dulu diajarkan Gigo Funakoshi.

Setahun kemudian, Hitoshi Katsuya yang telah 12 tahun bersama Kanazawa membesarkan SKIF, akhirnya berpisah. Pada 1990 Katsuya mendirikan organisasi sendiri, WSKF (World Shotokan Karate-Do Federation). harry

0 komentar:

Posting Komentar

Menang atau kalah dalam Karate bukanlah hal penting. Terpenting adalah bagaimana Karate dapat membentuk kepribadian praktisinya... (Gichin Funakoshi)

Dijual Tanah

Dijual Tanah